Pelaku Inklusi

Sahabat Mimi Institute dan kita semua adalah pelaku inklusi. Mengapa? Karena setiap harinya kita bertemu dan berbicara serta bekerja dan belajar bersama dengan orang-orang yang berbeda. Di saat kita berada dalam bus, ada penumpang yang jalannya menggunakan tongkat, ada penumpang yang warna kulitnya hitam; di saat kita bekerja menjadi pelayan toko, kita melayani para pembeli, ada yang berasal dari suku batak, ada yang tubuhnya pendek, ada yang rambutnya lurus, semua pembeli dilayani; di saat kita belanja di pasar, banyak pembeli berbicara menggunakan bahasa daerah dengan penjualnya, ada yang bicara dengan bahasa jawa, ada yang tawar-menawar dengan bahasa sunda; di saat kita menjadi guru, ada murid yang cepat paham dan ada murid yang lambat paham; di saat kita mengikuti seminar; salah satu narasumbernya menyampaikan materi menggunakan bahasa isyarat. Masih banyak lagi perbedaan yang kita temui setiap harinya, dan setiap kondisi beda apapun yang dihadapi tidak bisa kita hindari bahkan tidak bisa kita tolak. Mengapa? Karena setiap individu ciptaan Tuhan lahir dan hadir dengan perbedaannya masing-masing yang unik dan tidak akan sama satu dengan lainnya sekalipun lahir kembar.
Kehidupan kita selalu berhadapan dengan perbedaan, bukan hanya perbedaan fisik, tapi juga perbedaan dalam pengendaliaan emosi, cara hidup, pola pikir, pendapat serta kebutuhan dan kesukaan. Saat kita makan bersama keluarga, tidak semua suka makanan pedas, ada yang tidak bisa makan pedas, sehingga perlu disediakan macam-macam makanan, ada yang pedas dan ada yang tidak pedas supaya semua anggota keluarga dapat makan dengan nyaman. Begitu juga  saat ibu tahu ketiga orang anaknya ingin baju baru, ibu  membeli 3 baju dengan kebutuhan ukurannya masing-masing: ukuran L untuk anak pertama, ukuran M untuk anak kedua dan ukuran S untuk anak ketiga supaya setiap  anaknya dapat pakai baju barunya sesuai kebutuhannya. Dalam sebuah rapat, pemimpin mendengarkan banyak pendapat dari peserta, ada yang pendapatnya singkat, ada yang gagasannya praktis, tapi ada pula yang pendapatnya terlalu teoritis, dengan banyaknya pendapat yang berbeda-beda, pemimpin dan peserta rapat dapat lebih maksimal membuat keputusan rapat. Dalam menghadapi kasus, ada yang spontan menunjukkan emosi marah, tapi ada yang bersikap tenang di saat berhadapan pada kasus.
 
Keunikan individu memperkaya keragaman masyarakat. Keragaman yang ada di tengah kita memastikan setiap kita adalah pelaku inklusi. Terhadap  perbedaan kebutuhan dan pendapat,  kita sudah biasa menghadapinya bahkan kita bisa bersikap positif dengan menghargai dan menghorbati pendapat atau kebutuhan kita yang berbeda dengan anggota keluarga kita atau teman kerja kita. Terhadap perbedaan bahasa dan suku, layanan bandara akhir-akhir ini tidak hanya menyediakan layanan informasi dalam Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional dan Bahasa Inggris sebagai Bahasa Internasional, akan tetapi juga dilengkapi dengan bahasa daerah dan bahasa negara asal. Bila kita berada di Bandara Internasional Yogyakarta,  pengumuman pesawat berangkat dan tiba disampaikan  minimal 3 bahasa: Bahasa Indonesia, Inggris dan Jawa. Saat kita berpergian dengan pesawat milik Perusahan Jepang dari Bandara Internasional Yogyakarta,  layanan informasi  disediakan dalam Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Jepang dan Bahasa Jawa. Perbedaan jenis kelamin dan tinggi/berat badan ataupun postur tubuh serta perbedaan warna kulit dan agama tidak lagi menjadi persyaratan yang mendeskriminasi seseorang untuk mendaftar masuk sekolah/kuliah/kerja. Dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika ‘berbeda-beda tapi satu’, Masyarakat Indonesia seharusnya sudah lebih dulu menunjukkan kepada masyarakat dunia sikap dan tindakan positif terhdap perbedaan serta menghadapi dan memperlakukan perbedaan sebagai suatu yang wajar.
Dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi Roh Bangsa Indonesia, setiap warga bisa lebih merespon setiap kondisi beda apapun tanpa stigma dan tanpa diskriminasi. Sayangnya Ketidakadilan masih dihadapi dan dialami oleh hampir semua warga dengan disabilitas. Warga disabilitas fisik, mereka yang berjalan dengan kursi roda, kruk  ketiak, walker, tongkat tangan ataupun berjalan dibantu sepatu khusus belum mendapatkan aksesibilitas fisik ketika mereka berpergian menggunakan kendaraan umum seperti bis, kereta api, pesawat terbang, kapal laut. Untuk menjangkau halte bus, stasiun kereta api serta bandara dan pelabuhan, warga disabilitas fisik masih  menghadapi  tangga, sekalipun sudah disediakan bidang miring, ukurannya masih terjal dan kadang tidak dilengkapi dengan  pegangan. Warga disabilitas fisik yang tanpa satu/dua tangan, sering kali mereka berhadapan dengan stigma publik. Dengan latihan dan pembiasaan, mereka sudah biasa melakukan kegiatan keseharian di rumah dengan menggunakan kaki sebagai pengganti tangan. Mereka yang tanpa tangan kanan dapat makan/minum/tulis mandiri bahkan  jemur baju dan  melakukan tugas rumah lainnya menggunakan tangan kirinya. Mereka yang tanpa kedua tangan sudah biasa untuk makan/minum/tulis bahkan ambil barang, cuci muka, sisir rambut dan mengerjakan tugas rumah seperti buang sampah, cuci baju/piring dengan kakinya. Di lingkungan rumah, mereka diterima dan diakui cara hidupnya yang berbeda dengan anggota keluarga lainnya, namun ketika mereka berkegiatan di luar rumah, mereka dihadapkan pada hambatan budaya yang menghalangi partisipasinya. Di sekolah, murid tanpa tangan kanan dikatakan tidak sopan karena menyerahkan buku tugas kepada gurunya dengan tangan kiri. Kasir toko spontan menunjukkan ekspresi ‘jijik’ dengan langsung menghindar dan menolak pembayaran dari seorang pembeli tanpa dua tangan yang menaikkan kakinya ke meja kasir untuk memberikan uang kepadanya. Sikap masyarakat yang diwakili oleh guru dan kasir ini adalah pandangan dan perlakuan ketidakadilan yang masih dihadapi dan dialami oleh warga disabilitas baik ragam fisik, intelektual, mental maupun sensorik netra dan rungu/wicara.
Perbedaan cara hidup masih mendapatkan respon negatif, masih dipandang aneh serta masih dianggap tidak wajar. Cara hidup yang berbeda, misal masak menggunakan kaki, tulis menggunakan mulut, membaca dengan indera perabaan belum sepenuhnya dipahami terlebih lagi  masih sulit untuk  diakui sebagai keunikan  individu yang ikut meramaikan keragaman masyarakat. Dan bila sampai sekarang  kita  masih memahami dan memperlakukan individu disabilitas di luar konteks keunikan dan keragaman, maka diri kita belum bisa dikatakan pelaku inklusi. Mengapa? Karena kita masih berpikir, berkata, bersikap dan berbuat yang tidak adil kepada warga disabilitas. Tidak cukup bila kita menunjukkan penerimaan terhadap warga disabilitas dalam lingkungan kita tanpa disertai kemauan dan kemampuan kita untuk mengakui cara hidup beda warga disabilitas.
Kehidupan keseharian warga disabilitas sensorik rungu/wicara menggunakan mata, mimik muka, gerak tubuh dan tangan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Dengan cara hidup yang beda ini, mereka  bisa mendapatkan haknya dan menjalankan kewajibannya serta dapat melakukan tugas dan tanggung  jawab sosialnya sebagaimana kita pada umumnya hanya mereka melakukannya dengan cara yang beda dengan kita. Saat kita belanja di pasar, kita bicara menggunakan komunikasi verbal dengan penjual, sementara orang disabilitas sensorik rungu/wicara, mereka berinteraksi dengan penjual menggunakan komunikasi non verbal seperti bahasa isyarat. Saat kita lapor pajak dan ada hal yang kurang dipahami, petugas pajak menjelaskan secara lisan kepada kita, tappi tidak kepada wajib pajak disabilitas sensorik rungu/wicara. Bila petugas pajak menjelaskan secara lisan, cara berinteraksi petugas pajak tidak dapat diakses oleh wajib pajak disabilitas sensori rungu/wicara, namun bila petugas pajak menjelaskan menggunakan komunikasi tulis dilengkapi mimik wajah dan gerak tubuh serta ucapan yang jelas, maka cara komunikasi ini dapat diakses oleh mereka. Cara berinteraksi yang dilakukan penjuan dan petugas pajak kepada warga disabilitas sensorik rungu/wicara adalah hal yang wajar. Dan menjadi tidak wajar bila penjual dan petugas pajak memaksakan cara berinteraksinya yang tidak dapat diakses oleh warga disabilitas sensorik rungu/wicara. Apa akibatnya? Warga disabilitas sensorik rungu/wicara terhambat melakukan kegiatan belanja di pasar dan terhalang partisipasinya sebagai wajib pajak yang hendak lapor pajak.
 

Cara hidup beda: mendengar dengan mata, bicara dengan tangan, berpikir lambat, berjalan dengan tongkat bukanlah suatu yang tidak wajar. Pandangan ketidakwajaran terhadap cara hidup warga disabilitas dikarenakan pemahaman kita yang sempit tentang Bhinneka Tunggal Ika. Cara hidup yang beda mutlak diakui setara dengan jenis kelamin dan postur tubuh yang beda, warna kulit dan golongan darah yang beda, status sosial  dan latar belakang pendidikan yang beda, suku dan agama yang beda serta kondisi beda lainnya. Karena setiap perbedaan yang melekat pada diri individu adalah pemberian yang menjadi identitas diri kita masing-masing, dan oleh sebab itu perlu diakui dan dihormati sebagai martabat manusia seutuhnya. Bila kita sudah dapat mengakui cara hidup warga disabilitas maka kita sepenuhnya adalah pelaku inklusi.
Pelaku inklusi tidak meninggalkan seorang pun dengan setiap kondisi beda apapun dalam setiap bidang kehidupan. Pelaku inklusi bisa dan biasa memandang setiap orang dengan setiap perbedaannya dengan positif dan wajar. Pelaku inklusi merangkul setiap orang dengan setiap perbedaannya dengan memberikan uang yang akses untuk bebas berinteraksi dengan cara apapun. Pelaku inklusi hadir dan bertindak untuk membebaskan setiap hambatan apapun agar setiap orang dengan setiap kondisi beda apapun dapat berkegiatan dan berpartisipasi secara penuh dan efektif. Dengan kita sebagai pelaku inklusi, pastinya “No One Left Behind”.   
 
Salam Masyarakat Indonesia Masyarakat Inklusi (MIMI)
 

Jenis Berita/Artikel: