Keberadaan individu disabilitas sudah ada sejak karya penciptaan dan sejak ditetapkannya bumi ini sebagai tempat tinggal setiap individu ciptaan Tuhan. Pastinya individu disabilitas ada dan hadir di setiap wilayah belahan dunia ini. Keberadaan dan kehadiran individu disabilitas sama halnya dengan keberadaan dan kehadiran individu perempuan dan laki-laki; individu dengan lintas usia mulai dari balita, anak, remaja, dewasa hingga lansia; individu dengan perbedaan warna kulit, suku, agama, bahasa, postur tubuh dan kemampuan; bahkan sama halnya dengan keberadan dan kehadiran individu dengan latar belakang, status, profesi beda apapun. Mereka dan kita semua adalah penghuni bumi ini.
Keberagaman karakteristik setiap individu yang ada di bumi ini bisa dikenali melalui karakteristik fisik dan non fisik. Secara fisik, perbedaan karakteristik individu dapat dikenali secara langsung tanpa perlu berkenalan dan berkomunikasi. Seperti bentuk tangan bengkok/lurus, pendek, warna kulit hitam/putih/coklat, postur tubuh tinggi/pendek/rata-rata, bentuk rambut lurus/keriting/gelombang, cara jalan dengan roda/kaki/tongkat dan perbedaan karakteristik fisik lainnya yang bisa dilihat secara langsung pada diri setiap individu. Sedangkan secara non fisik, perbedaan karakteristik individu baru dapat dikenali setelah terjadi interaksi antar individu dalam waktu tertentu, dengan cara berkenalan dan berkomunikasi barulah masing-masing individu dapat mengenali sukunya badui/batak/bugis, latar belakang pendidikannya SMP/SMA/Sarjana, cara berpikirnya cepat/lambat/rata-rata, cara belajarnya audio/visual/kinestetik dan perbedaan karakteristik non fisik lainnya yang melekat pada diri setiap individu. Beragam karakteristik individu meramaikan bumi ini. Individu disabilitas yang memiliki perbedaan karakteristik fisik juga non fisik disayangkan keberadaan dan kehadirannya masih saja berada di luar pintu dan jendela keragaman, mengapa? Kalau keberadaan dan kehadirannya saja ditolak, bagaimana dengan keterlibatan individu disabilitas bagi dirinya dan lingkungannya?
Mungkin bagi individu non disabilitas, pertanyaan di atas tampak tidak perlu. Mungkin keberadaan dan kehadiran kelompok non disabilitas dalam kesehariannya bisa diterima dan keterlibatannya bisa diakui dikarenakan kebijakan, sarana dan layanan yang tersedia dapat terjangkau dengan mudah tanpa perlu perubahan dan penyesuaian. Di kalangan individu disabilitas, pertanyaan di atas menjadi pertanyaan mendasar yang sering bermunculan, tidak hanya ditanyakan oleh individu disabilitas, tetapi juga oleh keluarga dan orang-orang terdekatnya. Seharusnya pertanyaan di atas tidaklah perlu ditanyakan oleh siapapun, karena setiap individu ciptaan Tuhan adalah berbeda, baik berbeda secara fisik maupun non fisik.
Walau Kelompok non disabilitas paham dan sadar betul bahwa setiap individu ciptaan Tuhan berbeda satu dengan lainnya, tapi masih saja kelompok ini melihat perbedaan cara hidup individu disabilitas sebagai yang tidak wajar, bahkan yang tidak normal. Sering kali kelompok non disabilitas mengatakan individu disabilitas tidak normal karena cara hidupnya yang dipandang tidak wajar, misal saja orang makan mengunakan tangan, tapi orang disabilitas daksa tanpa kedua tangan makan menggunakan kakinya; murid biasanya belajar dengan sikap duduk, tapi murid hiperaktif belajar sambil berjalan mengelilingi ruang kelas; orang mendengar dengan telinganya, namun orang disabilitas tuli mendengar menggunakan matanya. Bila keluarga, masyarakat, pemerintah dan kita semua masih saja memandang perbedaan cara hidup individu disabilitas sebagai yang tidak wajar dan yang tidak normal, inilah alasan yang menjadikan sumber penyebab mengapa keberadaan, kehadiran dan keterlibatan individu disabilitas dalam keseharian sulit diterima dan masih jauh untuk diakui.
Individu disabilitas tidak cukup hanya diterima, tetapi yang utamanya butuh pengakuan. Penerimaan berarti menerima apa adanya namun tanpa disertai tanggung jawab terhadap resiko menerima perbedaan. Dalam konteks penerimaan, individu disabilitas diterima tapi tidak disediakan aksesibilitas dan akomodasi yang layaknya. Misal sekolah menerima murid disabilitas netra, guru dan teman-temannya menerima keberadaan dan kehadiran murid disabilitas netra tersebut, namun di saat pembelajaran, sekolah tidak menyediakan buku dalam huruf braille, sehingga murid disabilitas netra tidak dapat terlibat aktif dalam pembelajaran di kelas, hasil belajarnya menjadi rendah dan pada akhirnya putus sekolah. Pihak sekolah sudah menerima tapi tidak memikirkan resiko perbedaan apa yang perlu disediakan, karena menyediakan aksesibilitas dan akomodasi yang layak murid disabilitas netra dalam belajar bukan tanggung jawabnya. Tanggung jawab pihak sekolah hanyalah menerima murid disabilitas netra belajar bersama dengan murid di kelas tanpa bertanggung jawab terhadap cara murid disabilitas netra belajar.
Pengakuan cakupannya lebih luas yakni penerimaan disertai dengan tanggung jawab terhadap resiko menerima setiap perbedaan. Ini berarti dalam konteks pengakuan, sekolah yang menerima murid disabilitas netra bertanggung jawab penuh menyediakan aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi murid disabilitas netra dalam belajar, seperti menyediakan buku dalam huruf braille dan pembaca serta guru-guru yang mengerti cara berinteraksi dengan murid disabilitas netra, sehingga murid disabilitas netra bukan hanya ada dan hadir di kelas tetapi dapat terlibat aktif dalam interaksi pembelajaran di kelas.
Setiap perbedaan butuh pengakuan agar perbedaan yang diterima dipikirkan, diusahakan hingga disediakan aksesibilitas dan akomodasi yang layak yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu dengan setiap kondisi bedanya. Bila individu dengan setiap kondisi beda apapun hanya diterima, maka untuk dapat menunjukkan keberadaan, kehadiran dan keterlibatannya, individu bersangkutan yang bertanggung jawab sendiri atas kebutuhannya. Sementara saat individu bersangkutan sudah dapat menyediakan apa yang dibutuhkan, individu bersangkutan ada dan hadir tapi tetap belum dapat terlibat, karena ada bagian yang tidak bisa disediakan oleh individu bersangkutan. Lingkungan perlu ikut ambil bagian menyediakan apa yang dibutuhkan oleh setiap individu dengan setiap kondisi bedanya. Seperti perguran tinggi yang menerima mahasiswa laki-laki dan perempuan, maka resiko menerima perbedaan jenis kelamin ini adalah perguruan tinggi bertanggung jawab menyediakan toilet laki-laki dan toilet perempuan. Pariwisata kita di Indonesia terbuka untuk semua pengunjung dengan beragam agama, maka pengelola tempat wisata menyediakan tempat beribadah untuk berbagai agama: islam, kristen, katolik, budha, hindu, kong hucu. Contoh konkret lainnya, bandara terbuka menerima setiap penumpang dengan perbedaan bahasa dan cara mengakses informasi, maka pengumuman disediakan dalam bentuk audio dan visual, juga disampaikan dengan ragam bahasa untuk memudahkan penumpang mendapatkan informasi penerbangannya.
Begitu halnya dengan pengakuan individu disabilitas yang berbeda cara hidupnya. Perbedaan cara hidup di kalangan individu disabilitas perlu dipandang sama wajar dan sama normalnya dengan perbedaan jenis kelamin, agama, bahasa, suku, warna kulit dan kondisi beda apapun. Dengan pandangan dan pemahaman ini, sudah saatnya lingkungan melakukan perubahan dan penyesuaian agar individu disabilitas dapat terlibat setara dengan individu non disabilitas. Seperti perguruan tinggi tidak cukup hanya menyediakan bangku kuliah dengan papan meja posisi kanan, tapi juga perlu ada tersedia bangku kuliah dengan posisi meja kiri bagi mahasiswa yang menulis dengan tangan kiri.
Dengan mengakui setiap perbedaan, setiap kita berarti bertanggung jawab untuk memenuhi hak atas kemudahan dan perlakuan khusus bagi setiap warga sebaaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 Huruf H ayat 2. Untuk itu selain kita bisa dan biasa menerima keberadaan dan kehadiran orang disabilitas, sudah saatnya orang disabilitas perlu dilibatkan dan melibatkan diri, maka “Let us recognize persons with disabilities as part of human diversity”.
Salam Masyarakat Indonesia Masyarakat Inklusi (MIMI)