DISABILITAS DAN SIAPA PENYANDANG DISABILITAS?

Saat pertama kali orang tahu dirinya seorang disabilitas, saat itu pula muncul perasaan khawatir dan takut yang biasanya disusul dengan emosi sedih dan marah lalu ditutup dengan perasaan malu. Dan saat itu pula orang dihadapkan pada fonis ‘mati’, merasa diri ngerepotin, berpikir diri tidak berguna hingga terdorong ingin mengakhiri hidup. Dengan perasaan, pikiran dan tindakan sempit ini, seseorang yang baru menyadari dirinya disabilitas lebih banyak mengambil tindakan pasif berdiam diri dan mengurung diri  daripada tindakan aktif. Walaupun menunjukkan tindakan aktif, dengan label ‘disabilitas’, orang cenderung lebih banyak melampiaskan emosi sedih dan marah dengan menangis dan berteriak-teriak, melempar/membanting barang atau membentuk-bentak orang di sekitarnya tanpa mengatakan alasannya. Baik tindakan pasif maupun tindakan aktif yang ditunjukkan lebih mencerminkan ketidakterimaan diri sebagai seorang disabilitas dengan terus bertanya-tanya ‘mengapa harus saya’, ‘harusnya dia, bukan aku’. Pertanyaan terus ditanya tapi tidak pernah terjawab, mungkin sesekali pertanyaannya terjawab tetapi tidak sesuai dengan harapannya, sehingga kembali lagi bertanya dan bertanya dengan pertanyaan yang sama hingga lelah dan putus asa.
 
Putus asa hampir dialami oleh setiap orang di masa-masa awal dirinya berubah identitas dari orang pada umumnya menjadi orang pada khususnya yang menyandang disabilitas.
Mengapa?
Label disabilitas’ sudah dilekatkan pada dirinya menjadi stigma diri yang terus-menerus mencap diri negatif. Label ‘disabilitas’ yang melekat pada diri seseorang semakin sulit untuk dilepas, sebaliknya kerekatnya semakin kuat dengan bermunculannya stigma lingkungan yang selalu dan selalu memberikan cap sosial negatif terhadap orang disabilitas.

 
Lalu mengapa ‘disabilitas’ cenderung menjadi ‘label’, bukan label positif tapi label negatif?
Jawabannya karena informasi yang membentuk pengetahuan dan pemahaman disabilitas dari generasi ke generasi terus berputar pada rantai yang salah dan diturunkan dari warisan yang negatif. Dengan sebab ini menjadi jelas, ketika seseorang mengalami disabilitas, maka spontan yang muncul pada perasaan, pikiran dan tindakannya negatif: perasaannya terus menyalahkan diri atau menyalahkan orangtua atau menyalahkan kondisi; pikirannya terus bertanya-tanya bagaimana ini/itu, mengapa saya bukan kamu, apa bisa melakukan ini/itu; tindakannya  menjadi serba salah dan serba sulit. Seperti yang kebanyakan dialami oleh seseorang yang karena penyakit mata tertentu mengalami kemunduran penglihatan hingga kebutaan, ketakutan muncul seketika, yang dibayangkannya kebutaan membuat diri dan hidupnya gelap, yang diketahuinya orang dengan kebutaan adalah orang yang tidak bisa baca/tulis, jalannya dituntun-tuntun. Begitu juga ketika ada anak dalam keluarga yang terdiagnosa autism, tindakan orangtua cenderung menjaganya di rumah, tidak perlu sekolah dan dilarang main karena khawatir dibully dan memalukan keluarga. Kecelakaan lalulintas yang dialami oleh seorang pengusaha membuat kedua kakinya menjadi lumpuh dan harus menggunakan kursi roda, spontan ia berpikir hidupnya lemah seperti kedua kakinya, ia hanya bisa terbaring di tempat tidur atau duduk di kursi, tidak bisa kemana-mana.

 
Rantai informasi salah dan warisan negatif tentang disabilitas dan orang disabilitas menghancurkan hidup seseorang hingga lelah dan putus asa bahkan bisa kehilangan hak sebagai manusia yang bermartabat baik sebagai makhluk individual maupun makhluk sosial. Padahal kebutaan bukanlah disabilitas, kebutaan adalah kerusakan pada fungsi organ penglihatan, di saat orang tidak bisa baca/tulis karena tidak tersedia huruf braille, inilah disabilitas. Tidak bisa jalan bukanlah disabilitas, tetapi tidak mampu memfungsikan anggota tubuh, namun bila ia tidak bisa jalan karena tidak tersedia bidang miring dan lift, inilah disabilitas.  Begitu pun autism bukan disabilitas, akan tetapi ketidakmampuan memfungsikan pada organ otak dan sistem saraf, ketika ia tidak dapat melakukan interaksi belajar karena tidak tersedia media visual, inilah disabilitas. Lalu siapa penyandang disabilitas?

 
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas pada pasal 1 ayat 1 menuliskan bahwa penyandang disabilitas atau saya pribadi lebih suka disapa orang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Sedikit koreksi kata ‘keterbatasan’ dalam pengertian ini tampaknya kurang tepat. Bila dalam ketentuan ini ditulis penyandang disabilitas adalah orang yang mengalami keterbatasan, seolah-olah orang non penyandang disabilitas adalah orang yang tidak mengalami keterbatasan. Padahal setiap orang ciptaan Tuhan mengalami   bahkan memiliki keterbatasan, dan dengan keterbatasannya masing-masing, setiap orang turut mendukung dan ikut membentuk lingkungan yang toleran dan inklusi dengan saling menghargai dan mengakui  keterbatasan melalui semangat kepedulian dan kerja tolong-menolong.

 
Dari pengertian yang dituliskan dalam Undang-Undang dimaksud jelas orang baru dapat dikatakan disabilitas bila: (1) ada ketidakmampuan memfungsikan organ/mekanisme kerja tubuh baik fisik, intelektual dan/atau mental bukan ‘keterbatasan’; (2) yang dalam berinteraksi dengan lingkungan ada hambatan dan kesulitan; (3) tidak dapat berpartisipasi secara penuh dan efektif sebagaimana warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Pengertian ini diperkuat dan dipertegas secara lebih jelas dengan mengutip dari International Classification Functioning (ICF), bahwa orang dikatakan disabilitas bila ada kerusakan fungsi organ/mekanis kerja tubuh (body disfunction); bila ada aktivitas yang terhambat (activity limitation); bila ada partisipasi yang terhalang (restriction participation), yang dipengaruhi baik oleh faktor  lingkungan/environmental maupun faktor diri/personal.
Faktor lingkungan/environmental maksudnya orang disabilitas tidak dapat berinteraksi karena hambatan yang dimunculkan oleh lingkungan. Di antaranya: hambatan kebijakan dan peraturan, hambatan budaya dan sosial, hambatan fisik dan infrastruktur, hambatan sikap/pandangan masyarakat, hambatan informasi dan komunikasi. Hambatan-hambatan ini dimunculkan oleh lingkungan maka lingkunganlah yang bertugas keras menghilangkan hamatan-hambatan ini dengan melakukan penyesuaian dan perubahan atas asas kesetaraan dan pendekatan inklusi serta strategi pengarusutamaan disabilitas.

 
Lalu apa maksudnya dengan faktor diri/personal? Faktor ini lebih menekankan pada kebanyakan orang disabilitas belum cukup memiliki pengetahuan dan kepercayaan diri untuk tampil bicara haknya. Sebab orang disabilitas lebih sibuk bertanya ‘mengapa bisa terjadi disabilitas pada saya. Bila pertanyaan ini terus ditanyakan, maka orang disabilitas sendirilah yang menjadi sumber hambatannya. Sedangkan untuk menghilangkan hambatan lingkungan membutuhkan peran aktif orang disabilitas untuk bersuara dan bertindak atas asas martabat dan hak asasi manusia serta kedudukan hukum yang sama sebagai warga Bangsa. Untuk itu “stop asking, but let us start talking and showing actions to remove environmental barriers so that every person with or without disabilities have rights to fully participate in the society”.

 

 
Salam Masyarakat Indonesia Masyarakat Inklusi (MIMI)
 

Jenis Berita/Artikel: