Pendidikan untuk Semua

 
JAKARTA – Oscar Yura Dompas (25), boleh dibilang sebagai anak yang beruntung. Dia hidup di tengah keluarga yang mencintainya. Orang tua dan kedua adiknya selalu mendukung langkah-langkahnya. Mereka menyadari bahwa Oscar yang sejak kecil mengalami gangguan perkembangan (disorder) dan kemudian divonis menderita autis, memerlukan kasih sayang dalam perkembangan kehidupannya. Dengan penuh kesadaran dan kesabaran keluarga inti Oscar memperlakukannya sebagaimana anak normal pada umumnya.
Ayah Oscar, Alan Jeffrey Dompas bercerita kepada Pembaruan tentang anaknya yang menderita autis. Sejak kecil, keluarga selalu mendorong Oscar untuk menyelesaikan pendidikan demi masa depannya. Persoalan mulai timbul ketika dia menyelesaikan pendidikannya di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Dengan hasil tes Intelligence Quotient (IQ) yang hanya mencapai 100, ayahnya khawatir Oscar tak mampu menyelesaikan jenjang pendidikan tinggi. “Saat itu saya bilang Oscar coba kuliah dulu selama satu semester. Kalau tidak sanggup, ya terpaksa keluar. Untung dia sanggup mengikuti kuliah hingga saat ini,” ujar Alan.
Tidak mudah memang bagi anak yang menderita autis mengikuti kuliah di tingkat universitas. Dukungan keluarga, teman-teman kuliah, serta para dosen, menjadi factor yang paling menentukan kemajuan anak-anak yang mengalami gangguan perkembangan. “Saya berterima kasih kepada teman-teman Oscar yang telah mendukungnya dan juga Atma Jaya yang telah memberikan kesempatan kepada anak saya untuk membuktikan kemampuannya,” ujar Alan.
Oscar adalah salah satu kisah sukses dari anak-anak autis yang oleh masyarakat umum dianggap anak tak normal. Selain mereka, masih ada jutaan anak di Indonesia yang juga dianggap tak normal. Mereka adalah para penyandang cacat. Nasib mereka tak seberuntung Oscar karena keluarga, lingkungan, dan juga pemerintah, masih kurang memberikan perhatian, khususnya dalam bidang pendidikan. Jangankan menempuh pendidikan tinggi, kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahpun masih terbatas karena keberadaan Sekolah Luar Biasa (SLB) yang tidak merata di Indonesia. Penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus (special need, penyandang cacat dan penderita gangguan perkembangan) masih didominasi pemerintah karena pihak swasta nyaris tak melirik mereka.
Minimnya anggaran pendidikan membuat pemerintah tidak memiliki banyak pilihan. Anggaran yang ada lebih banyak dipakai untuk kepentingan anak-anak normal. Tak heran bila masih banyak anak-anak berkebutuhan khusus yang belum bisa menikmati haknya dibidang pendidikan. Padahal, sebagai warga negara mereka juga memiliki hak yang sama dengan orang normal.
 
Menggugah
Di tengah keprihatinan terhadap menyediaan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, Universitas Atma Jaya berupaya menggugah masyarakat dan pemerintah agar lebih memperhatikan pendidikan mereka. “terkait hari Penyandang Cacat Internasional yang diperingati setiap 3 Desember, kami menggelar beberapa kegiatan, seperti dialog interaktif, untuk menggugah kepedulian berbagai kalangan terhadap pendidikan penyandang cacat dan juga para penderita gangguan perkembangan,” kata Bernadette N Setiadi, Rektor Universitas Atma Jaya.
Dengan konsep “pendidikan untuk semua”, kata Bernadette, seharusnya para penyandang cacat dan penderita gangguan perkembangan mendapat kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan, termasuk pendidikan tinggi.  “Pendidikan tinggi bukan hanya untuk orang normal saja. Penyandang cacat dan disorder student pun memerlukannya. Kami sudah membuktikan bahwa mereka pun mampu menyelesaikan pendidikan tinggi,” ujarnya.
Hingga saat ini, Atma Jaya telah meluluskan tujuh penyandang cacat dan masih ada dua mahasiswa, diantaranya Oscar, yang mengikuti kuliah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan seorang lagi di Fakultas Hukum. Selain itu, ada beberapa dosen yang juga mengalami cacat fisik.
Dalam penyediaan pendidikan khusus, di satu sisi, pemerintah seharusnya mengambil peran dominant, yang diikuti dengan dukungan pihak swasta. Di sisi lain, para penyandang cacat pun harus berperan aktif untuk mendapatkan hak-haknya. “Saya masih melihat sebagian penyandang cacat tak cukup punya keberanian atau berjuang untuk mengeyam pendidikan tinggi.
Mudah-mudahan dengan mengangkat persoalan pendidikan anak-anak cacat, masyarakat semakin sadar tentang keberadaan mereka. Kemampuan mereka baik, tetapi mempunyai hambatan secara fisik. Pemerintah pun seharusnya memberikan perhatian khusus terhadap pendidikan tinggi bagi orang cacat,” kata Bernadette.
Sedangkan Dorien Kartikawangi, Ketua Panitia Dialog Interaktif Hari Penyandang Cacat Internasional yang bakal digelar Senin (5/12) menyatakan dialog yang menghadirkan aktivis penyandang cacat, alumus, orang tua dari disorder student, dan unsur pemerintah, merupakan kegiatan yang palng sederhana untuk menggugah kepedulian masyarakat terhadap penyandang cacat.
“Kami berharap dari dialog ini bisa dibuat membuat kajian akademik sebagai masukan bagi pemerintah dalam upaya menyediakan pendidikan bagi penyandang cacat. Mungkin nanti aka nada gagasan untuk mendirikan perguruan tinggi khusus bagi penyandang cacat,” ujarnya. (A-22 / A-16).
 
sumber:  Harian Suara Pembaruan 3 Desember 2005 (Hal. 15)

Jenis Berita/Artikel: